>> catatan perjalanan riset untuk proses penciptaan karya tari Mega Mendung, koreografer: Fitri Setyaningsih.
Oleh: Hindra Setya Rini.
Sebermula kenangan tentang mega-mega.
pada suatu masa, ada seorang nenek tua yang berjarik dan berkebaya. ia bercengkrama dengan seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun. ia bercerita tentang mega-mega di atas langit yang bisa bergerak dan hidup sebagaimana mahluk lainnya. seperti manusia. si nenek bahkan bercerita, suatu saat nanti awan-awan itu akan membawa terbang si gadis ke atas langit yang tinggi. bertemu mega-mega. waktu berselang, kemudian nenek menghilang. namun cerita tentang mega-mega di atas langit sana diam-diam mengendap dalam ingatan; yang kelak, si gadis akan menamainya sebagai masa depan.
Perjalanan menemukan Mega Mendung
Petilan di atas merupakan cerapan saya tatkala mendengarkan cerita—bisa juga disebut sepenggal kenangan—masa kecil Fitri Setyaningsih. Sebagai mula gagasan karya tari Mega Mendung yang sedang ia mulai kerjakan. Merunut ke belakang, kenangan atas mega-mega dan perjumpaan dengan si Nenek itu cukup menghantuinya kurang lebih sejak enam atau lima tahun yang lalu. Baru tiga tahun belakangan ini ia mulai menggambar dan corat-coret mengikuti ingatan-ingatan yang terus keluar-masuk tersebut, terlebih sejak ia mengenal motif “mega mendung” semasa kuliah di Solo. Motif mega mendung ia temui pada batik Cirebon dan wayang beber. Ketertarikan perihal mega mendung sudah dimulai sejak masa itu, dan secara serius ingin diwujudkan sebagai sebuah karya tari, baru dimulai satu tahun belakangan ini.
Awal bulan Juli 2014, perjalanan “menemukan” mega mendung dimulai sebagai titik keberangkatan proses karya tari Fitri. Dua kota yang terletak di pesisir Jawa; Cirebon dan Lasem menjadi tujuan pencarian tersebut. Selain di mana saja tempat atau jejak mega mendung bisa ditemui, penggalian makna filosofis dari motif mega mendung bergradasi tujuh warna menjadi agenda utama. Paparan dan temuan di bawah ini saya sarikan dari beberapa referensi dan wawancara beberapa narasumber; budayawan, seniman lukis kaca, pembatik di Cirebon, serta salah seorang pegiat komunitas pelestari warisan budaya Lasem yang menjadi informan lokal ketika menyusuri motif mega mendung di Lasem.
Awal bulan Juli 2014, perjalanan “menemukan” mega mendung dimulai sebagai titik keberangkatan proses karya tari Fitri. Dua kota yang terletak di pesisir Jawa; Cirebon dan Lasem menjadi tujuan pencarian tersebut. Selain di mana saja tempat atau jejak mega mendung bisa ditemui, penggalian makna filosofis dari motif mega mendung bergradasi tujuh warna menjadi agenda utama. Paparan dan temuan di bawah ini saya sarikan dari beberapa referensi dan wawancara beberapa narasumber; budayawan, seniman lukis kaca, pembatik di Cirebon, serta salah seorang pegiat komunitas pelestari warisan budaya Lasem yang menjadi informan lokal ketika menyusuri motif mega mendung di Lasem.
Mega Mendung di Cirebon
Cirebon, kota pertama yang kami singgahi, dulunya adalah sebuah kota dengan pelabuhan yang cukup signifikan dalam peta sejarah masuknya Islam di pulau Jawa. Carubanmerupakan asal kata Cirebon yang artinya “campuran”. Konon kata “campuran” tersebut merujuk pada percampuran berbagai budaya yang datang melalui jalur perdagangan (di antaranya dari Gujarat, India, Persia, Arab, Bugis, Cina, dan terakhir Belanda) yang singgah di Cirebon dan membaur dengan budaya lokal setempat. Menurut catatan sejarahnya, sekitar abad ke 15, kedatangan Cina-Muslim ke Cirebon secara besar-besaran pertama kali ditandai dengan legenda mendaratnya ekspedisi Cheng Ho (armada dari Dinasti Ming) sebanyak 62 kapal dan membawa 28.000 orang (Times Editions 1990: hal. 20). Dipercayai pula bahwa salah seorang dari mereka, sejarawan yang bernama Ma Huang, memutuskan untuk tinggal dan menikah dengan perempuan setempat. Sejak itu penduduk Cina-Muslim mulai berkembang di Cirebon. Selain itu, pengaruh budaya cina juga tak terlepas dari cerita tentang kedatangan Putri Ong Tien (salah satu putri Kaisar di Cina yang menikah dengan Sunan Gunung Jati) ke Cirebon dan membawa mahar hadiah berupa porselen Cina, kain sutera dan satin, serta ornamen-ornamen hiasan yang terbuat dari batu giok dan emas. Peninggalan Puteri Ong Tien sampai saat ini dapat ditemui salah satunya di Makam Sunan Gunung Jati. Dan pengaruh Cina pada Cirebon juga dapat dilihat di Keraton Cirebon; Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan dan Keprabon. Piring-piring keramik dari Cina tampak menghiasi dinding-dinding bangunan Keraton. Sedangkan motif mega mendung dapat ditemui hampir dibanyak tempat, seperti pada pintu gerbang, dudukan gamelan, dan lain sebagainya. Berikut beberapa gambar:
keraton kanoman |
keraton kasepuhan |
piring keramik dari cina yang menempel pada dinding-dinding keraton |
peralatan gamelan di keraton kacirebonan |
lampu taman keraton kasepuhan |
Dari pertemuan dan wawancara bersama tokoh masyarakat di Cirebon, diperoleh penjelasan bahwa mega mendung Cina dan mega mendung Cirebon memiliki perbedaan. Inspirasi motif mega mendung Cina asalnya dengan melihat ke atas (awan dan langit), sedangkan mega mendung Cirebon terinspirasi dengan melihat ke bawah yaitu sebuah telaga yang memantulkan bayangan awan ke permukaan air telaga tersebut. Berikut penjelasan dari masing-masing narasumber:
1. Pak Achmad Opan Safari (pelukis kaca, ahli naskah kuno (filologi), pengajar di beberapa sekolah (SMP - SMU) dan Universitas IAIN Cirebon):
Mega mendung memiliki dua versi; kalau yang dari Cina, pembuat atau pencipta mega mendung itu langsung melihat ke atas (langit), kalau yang dari Cirebon—penciptanya adalah pangeran Cakrabuana—melihat ke ke bawah (ketika mengambil air wudhu) di sebuah telaga. Ia melihat mega mendung. Itu sebabnya kenapa dalam motif batik mega mendung Cirebon ada variasi ikan, kupu-kupu, binatang, daun dan lain sebagainya. Variasi itu ada karena dilihat dari sebuah telaga. Hal itu juga yang membedakan antara mega mendung Cina dan Cirebon; mega mendung Cina bentuknya terstruktur, berwarna putih dan biru karena referensinya pada awan, sedangkan mega mendung Cirebon bentuk lebih bebas, ada yang lancip-lancip vertikal dan horizontal.
Pada perkembangannya, mega mendung Cirebon ada yang bernama mega mendung Sumirat, artinya mega mendung di saat matahari bersinar cerah. Motif ini lebih cerah (dengan oranye, merah muda, dsb), mega mendungnya sedikit-sedikit dan tidak penuh. Sedangkan mega mendung—yang artinya mega di saat langit mendung, itu bentuknya lebih tebal dan rapat. Pada prinsipnya bentuk mega mendung selalu menyambung dan tidak boleh terputus. Jika ingin berhenti ditandai dengan lungsi (tanda koma). Makna filosofisnya, “Jika berbuat baik, beribadah, itu tidak boleh berhenti”. Mega mendung yang arah bentuknya vertikal, atau yang disebut wadasan, itu melambangkan iman manusia yang sekokoh batu karang. Sedangkan yang horizontal melambangkan sifat-sifat pemurah sang pencipta sebagai pemberi rejaki pada seluruh umat manusia. Perihal jumlah gradasi tujuh warna dalam motif mega mendung, tidak ada kandungan makna filosofis tertentu. Hal tersebut dianggap jamak saja (untuk mengatakan sesuatu yang lebih dari satu).Pak Opan sendiri sebagai seniman pelukis kaca, bahkan membuat mega mendungnya lebih dari tujuh gradasi warna.
Kapan tepatnya mega mendung hadir di Cirebon, kemungkinan terkuatnya adalah saat datangnya armada Cheng Ho sekitar tahun 1511 – 1521. Meskipun mega mendung tidak diceritakan, ia meyakini motif mega mendung di Cirebon bisa saja terpengaruh dari pakaian yang dikenakan orang-orang Cina yang datang pada masa itu. Tidak hanya pakaian, pengaruh kuat budaya Cina ini dapat dilihat di mana-mana; istana keraton, tempat ibadah, juga di makam Sunan Gunung Jati, gerabah atau tembikar dari Cina bisa ditemukan di sana. Menurutnya, hal itu juga pengaruh dari Putri Ong Tien yang merupakan salah satu istri Sunan Gunung Jati yang berasal dari Cina.
2. Pak Katura (pelestari batik Trusmi, Cirebon).
Hampir sama dengan penjelasan di atas, mengenai perbedaan motif mega mendung Cina dan mega mendung Cirebon yaitu pada cara inspirasi mega mendung bermula (melihat ke atas, dan yang Cirebon melihat ke bawah atau telaga). Menurut pak Katura, sebagai pembatik yang tinggal di perkampungan batik Trusmi ini, motif batik mega mendung Cirebon dahulunya diciptakan oleh seniman kraton. Perbedaan motif mega mendung Cina dan Cirebon berbeda pada bentuk motifnya juga; mega mendung Cina memiliki buntut panjang, sedangkan Cirebon lebih bulat, tidak boleh putus, dan terus menyambung. Makna folosofinya, “Kalau mencari ilmu jangan pernah putus.”
Pada perkembangannya kini, motif bentuk dan warna sudah disesuaikan dengan selera pasar, menurut selera masing-masing si Pembatik dan si Pembeli. Bentuk mega mendung yang biasanya arah memanjang ke samping (horizontal), sekarang dibuat ke atas (vertikal). Kalau horizontal mencerminkan pada hubungan kemasyarakatan (manusia dengan manusia dan alam), sekarang yang ke atas atau vertikal itu menunjukkan hubungannya dengan yang di atas (hubungan manusia dengan Tuhan). Warna dasar batik mega mendung Cirebon adalah merah dan biru. Warna merah, menurut pak Katura, lebih kepada kecenderungan warna-warna pesisiran, bukan Cina. Gradasi warna mega mendung berjumlah tujuh, dan biasanya minimal berjumlah tiga. Cara menghitungnya dimulai dari warna putih selanjutnya sampai pada warna biru. Tidak ada aturan khusus perihal warna-warna lapisan mega mendung tersebut. Perihal tujuh gradasi itu berkaitan dengan lapisan-lapisan langit yang berjumlah tujuh, menurut ajaran Islam. Tidak ada penjelasan lebih jauh mengenai hal tersebut. Berikut ini gambar motif mega mendung horizontal dan vertikal:
3. Pangeran Hilman (pengelola Arsip Budaya Kab. Cirebon, sesekali menjadi dosen tamu di Universitas IAIN Cirebon)
Dalam pertemuan dan percakapan bersama pak Hilman, kurang lebih informasi yang didapat sama dengan narasumber lainnya, namun dengan penekanan bahwa peran keraton sangat besar dalam mengembangkan motif mega mendung Cirebon. Ajaran-ajaran islam juga sangat lekat pada lukisan-lukisan kaca yang ada di Cirebon, yang hampir dipastikan ada motif mega mendung, wadasan, dan dimodifikasi dengan ayat-ayat maupun rapalan huruf arab. Salah satu contoh gambar:
Penjelasan makna motif wadasan dan disertai variasi lain seperti tanaman kaktus, laut, gelombang, dan pada akhirnya memusat pada mega mendung yang mengarah ke atas (di dalamnya tertulis ayat atau rapalan), menggambarkan sebuah siklus kehidupan. Sebagaimana sebuah perjalanan manusia dari lahir sampai kembali kepada yang menciptakan. Dalam kehidupan wadasan yang tak beraturan; naik-turun, terjal, diartikan juga sebagai hambatan dalam kehidupan. Di sisi lain,wadasan juga melambangkan batu karang yang kokoh, yang hendaknya manusia juga harus sekokoh batu karang dalam menghadapi ujian kehidupan. Kaktus memiliki pemaknaan bisa hidup di dataran tandus dan kering, artinya manusia hendaknya juga seperti kaktus yang mampu bertahan dan tetap tumbuh dalam keadaan yang paling sulit. Sampai pada akhirnya, manusia kembali dan mendekat ke jalan menuju sang Pencipta. Huruf arab dalam mega mendung yang mengarah ke atas tersebut berisi perihal sifat-sifat Tuhan. Perihal keseimbangan dalam kehidupan juga ditekankan oleh pak Hilman, bagaimana manusia dan alam tidak bisa diputus. Namun seringnya manusia dengan watak yang beraneka ragam itu seringnya lupa; seolah-olah merasa bisa hidup sendiri tanpa orang lain atau alam tempat ia tinggal.
pintu gerbang masuk keraton kacirebonan, tiga ikan tanpa kepala bertemu membentuk sigitiga sebagai simbol keseimbangan |
batu karang (keraton kasepuhan) atau disebut wadasan dalam motif mega mendung batik cirebon |
Mega Mendung di Lasem
Menilik sejarah mengenai Lasem yang dijuluki sebagai Tiongkok kecil, memiliki kesamaan cerita dengan Cirebon perihal kedatangan armada Cheng Ho yang mendarat di pesisir Jawa sekitar abad ke 15 M. Di Lasem, menurut catatan Sejarah Batik Lasem, armada Cheng Ho mendarat pada tahun 1413 M. Salah seorang nahkoda yang bernama Bi Nang Un (sekarang menjadi nama salah satu pantai di Lasem, Binangun) tertarik untuk menetap di Lasem. Atas seijin Cheng Ho, ia kembali ke Champa (sekarang bernama Vietnam) untuk membawa serta keluarganya tinggal di Lasem. Menurut Serat Badra Santi (Babad Tanah Lasem) yang ditulis oleh salah satu cucu Bi Nang Un, pembatikan di Lasem dirintis oleh Puteri Na Li Ni yang berasal dari Champa (isteri dari Bi Nang Un). Meskipun hal tersebut butuh kajian lebih jauh (IPI 2010: hal. 22-23).
Dalam pencarian motif mega mendung di Lasem, saat ini, bisa dikatakan sangat sedikit jika dibandingkan dengan Cirebon. Selain karena sedikitnya tulisan-tulisan yang bisa dijadikan rujukan sejarah batik Lasem yang akurat, disinyalir bahwa motif mega mendung juga kurang dikenal oleh sebagian pembatik Lasem sekarang ini (menurut Baskoro, aktivis dan pendiri gerakan pelestarian warisan budaya (pusaka) di Rembang dan Lasem). Menurut seorang pembatik yang dituakan di Lasem, Sigit Wicaksono atau Nyoo Tjoen Hian (keturunan ke delapan dari keluarga Njoo, pengusaha batik sejak sekitar tahun 1850), mega mendung sendiri dalam filosofi Cina merupakan keberkahan karena menurunkan hujan. Sedangkan motif mega mendung yang ada dalam karya batiknya itu hanya sebagai ornamen atau hiasan saja.
Melihat dari karya batik Pak Sigit, motif mega mendung bentuknya kecil-kecil dan bulat (lebih kecil dibandingkan Cirebon). Bentuk dengan satu garis saja, tidak memiliki gradasi lapisan warna. Menurut Baskoro, fenomena yang menarik untuk ditelusuri karena motif mega mendung sebenarnya baru muncul belakangan ini (di Lasem), termasuk batik karya pak Sigit sendiri—sebagai pembatik yang paling kuat unsur Cina-nya. Pada perkembangan batiknya kini, ia memasukkan peribahasa-peribahasa Cinadengan huruf Cina, salah satunya adalah “Umurnya setinggi langit, rejekinya seluas samudra”. Berikut contoh-contoh batik Lasem yang bermotif mega mendung:
Kelangkaan motif mega mendung di Lasem, menurut perkiraan dikarenakan ada semacam anggapan bahwa motif mega mendung merupakan ciri khas yang sudah dimiliki oleh Cirebon. Sehingga pembatik lokal Lasem memilih untuk mengembangkan yang merupakan ciri khas Lasem seperti motif Sekar Jagad (berdasar pengakuan salah seorang pembatik Lasem). Dari pembacaan tentang sejarah batik Lasem, sekitar tahun 1951-1970 terjadi fenomena perubahan cara berpakaian perempuan Cina di Lasem (yang merupakan target konsumen batik Lasem saat itu). Kebiasaaan memakai kebaya encim dan kain batik menjadi berpakaian bergaya barat yang dianggap lebih nyaman; dengan rok atau gaun. Kemudian terjadi pergeseran target produk batik ke pemakai batik non etnis Cina, seturut dengan mengubah motif budaya Cina ke motif-motif yang disesuaikan dengan ajaran Islam dan budaya lokal setempat. Misalnya, motif Cina seperti naga (liong), burung hong, kilin, diganti dengan motif lombokan, watu kricak, latohan. Motif lokal non hewan tersebut menggantikan motif hewan yang berasal dari budaya Cina (IPI 2010: hal 39).
Yang menarik dari perjalanan menemukan mega mendung di Lasem ini adalah jika motif mega mendung sedikit ditemui pada batik Lasem, lain halnya dengan arsitektur bangunan-bangunan tua di Lasem. Budaya Cina sangat kental terlihat sejak desain pintu masuk atau gerbang di setiap bangunan rumah tua, lorong-lorong panjang dengan tembok tinggi yang membentengi rumah-rumah tua Cina di Lasem. Bila diamati secara dekat, detil bagian atap bangunan memiliki tingkatan lapisan seperti gradasi mega mendung Cirebon. Ada yang berjumlah tujuh dan ada yang kurang dari jumlah tersebut. Gradasi pada bumbung atap bangunan rumah tua di Lasem (foto di bawah kiri), bangunan sudah direnovasi (kanan)
Berikut motif-motif mega mendung yang paling banyak dan mudah ditemui adalah di rumah ibadah (klenteng) di Lasem:
Setelah perjalanan Cirebon-Lasem (percakapan gagasan dan temuan-temuan yang semakin tajam untuk penciptaan karya tari Mega Mendung, bersama Fitri Setyaningsih)
Dari percakapan-percakapan dan imaji-imaji yang melintas di sesela perjalanan dari Cirebon menuju Lasem, pun setelahnya, beberapa menguat menjadi bentuk-imaji yang akan diwujudkan di atas panggung. Berupa bayangan-bayangan visual yang terus akan dilihat perkembangannya dalam proses penciptaannya nanti. Demikianlah Fitri yang menempatkan saya sebagai pencatat temuan di jalan sekaligus teman berbincang saat pikiran dan imaji di kepalanya berlintasan, ia membagikan hal-halnya yang masih acakuntuk bisa saya baca dan tuliskan.
Berikut ini merupakan poin-poin bayangan yang menjadi tolakan dalam proses penciptaan, yang masih akan dilihat dan dikembangkan melalui diskusi-diskusi, workshop, rehearsal / latihan bersama tim kreatif (penari, pemusik, dan pewujud artistik):
- Perihal kenangan. Seorang nenek yang bercerita tentang mega-mega itu berpakaian kebaya dan jarik (kain). Visual yang tergambar: perempuan tua memakai jarik dan kebaya, duduk di atas kuda kayu (kuda-kudaan yang biasa dimainkan oleh anak kecil). Kemungkinan memang kenangan inilah asal semua bermula, seluruh peristiwa yang terjadi di atas panggung. Ia bisa mula-mula hadir, atau menutup akhir. Kita belum tahu.
- Eksplorasi tubuh pada setiap titik dari telapak kaki hingga ujung kepala—ubun-ubun. Level tubuh paling bawah: kaki yang menginjak bumi, perlahan naik ruas per ruas sampai pada level tubuh yang paling atas: ubun-ubun. Ini berhubungan dengan gradasi yang menjadi ketertarikan Fitri pada mega mendung. Tingkatan gradasi bisa pula dimaknai sebagai level yang terus semakin naik ke atas. Dari bawah menuju ke atas itu hubungannya dengan sang Pencipta (Tuhan), seperti filosofi bentuk mega mendung yang arahnya ke atas (vertikal). Pada titik ini, kemungkinan bahwa tubuh masing-masing penari melakukan perjalanan dari keadaaan yang paling netral (tubuh keseharian mereka, sebagaimana saya melihat Fitri sangat kuat pada konsep ini dalam karya-karyanya) sampai mencapai titik yang paling tinggi atau situasi transenden—sesuatu yang sangat dekat dengan keilahian. Karena percaya bahwa setiap tubuh punya pengalamannya baik yang materiil maupun spritual, levelitas tubuh ini sangat mungkin bisa dieksplorasi untuk menghadirkan pengalaman-pengalaman tersebut pada tubuh penari secara alami (natural).
- Keseimbangan. Mengambil makna filosofi tentang keseimbangan dalam kehidupan; manusia-alam-pencipta; hubungan manusia dengan sesama, manusia dengan alamnya, serta manusia dengan penciptanya, menegaskan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan mahluk lain. Ini makna filosofi mega mendung horizontal maupun vertikal (wadasan). Dalam pergerakannya, tubuh penari bisa menyatu dekat dengan sesama penari yang lain, laluberpendar menempuh perjalanan tubuhnya sendiri-sendiri, dan kembali lagimenyatu membentuk pola semula. Pada prinsipnya, pola gerak atau bentuk ini mengambil prinsip bentuk mega mendung yang terus menyambung, tidak boleh terputus dan jika berhenti ditandai dengan koma.
- Kedatangan orang-orang dan keluarga. Orang-orang berdatangan (masuk menuju panggung) dengan membawa wajan kecil di kedua tangannya. Wajan-wajan kecil yang di dalamnya berisi sejarah dari masa lalu; kapal, beras, dan rempah-rempah. Datang bersama keluarga, mereka membangun rumah dan hidup beranak pinak. Bedug-bedug dibunyikan. Air dalam gentong atau kendi (untuk wudhu) mengalir. Pergerakan aktivitas yang ramai di atas panggung. Kemungkinan menghadirkan bedug di atas panggung, entah ia akan digantung dengan rantai yang bisa ditarik-turunkan atau ia akan statis. Imaji ini bertaut dengan sejarah kedatangan orang-orang asing di pesisir jawa (Cheng Ho di Cirebon dan Lasem) melalui jalur perdagangan dan sebagian menetap, membangun keluarga, dan membaur dengan penduduk lokal setempat.
- Lorong-lorong jalan yang panjang. Ruang-ruang yang muncul dari melihat lorong jalan di sepanjang bangunan tua Lasem, yang menarik untuk dijelajahi. Untuk alat musik atau artistik, bedug mengambil perhatian kuat untuk dihadirkan. Terbang, sebagaimana ide yang pernah dibayangkan Fitri sejak awal, juga sangat menarik untuk dieksplorasi lebih jauh.
Imaji-imaji bayangan di atas juga sebagian terinspirasi dari temuan-temuan seperti di bawah ini (Dok. Foto perjalanan riset ke Lasem dan Cirebon):
Referensi
Rujukan bacaan:
Gocher, Jill. (1990) Historical Chronology. In The Times Travel Library: Cirebon, Tan, K. E. (Ed). Singapore: Times Editions Pte Ltd.
Kwan, Rosina, dan Hadi, (2010). “Eksplorasi Sejarah Batik Lasem”. Katalog dalam terbitan. Jakarta: Institut Pluralisme Indonesia (IPI).
Narasumber dalam wawancara dan percakapan informal:
- Achmad Opan Safari (pelukis kaca, ahli naskah kuno (filologi), pengajar di beberapa sekolah (SMP - SMU) dan Universitas IAIN Cirebon), tinggal di Cirebon. Tanggal 6 Juli 2014, pukul 10.00 WIB.
- Baskoro (aktivis pelestari budaya dan pusaka Rembang dan Lasem, pendiri Rembang Heritage Society), tinggal di Rembang. Tanggal 16 Juli 2014, pukul 12.30 WIB. Dalam percakapan personal di kantornya di Lasem.
- Fitri Setyaningsih (koreografer dan penggagas ide karya tari Mega Mendung, tinggal di Yogyakarta. Juli – Agustus, 2014. Dalam percakapan-percakapan personal di rumahnya dan selama perjalanan Cirebon – Lasem.
- Pangeran Muhammad Hilman (pengelola Arsip Budaya Kab. Cirebon, sesekali menjadi dosen tamu di Universitas IAIN Cirebon), tinggal di Cirebon. Tanggal 4 Juli 2014, pukul 16.30 WIB.
- Katura (pelestari batik Trusmi, Cirebon), tinggal Cirebon. Tanggal 5 Juli 2014, pukul 09.30 WIB.
- Sigit Wicaksono (pelestari batik Lasem), tinggal di Lasem. Tanggal 16 Juli 2014, pukul 16.00 WIB.
No comments:
Post a Comment