Tiga Eksplorasi Gerak Fitri Setyaningsih | Alia Swastika & Briggita Isabella | Tempo

MINGGU, 08 AGUSTUS 2010 | 15:20 WIB

TEMPO InteraktifYogyakarta - Dalam pementasan tiga repertoranya di Yogyakarta pekan lalu, koreografer Fitri Setyaningsih menyuguhkan karya kolaborasi yang menarik, antara seni pertunjukan dan seni rupa. Bertajuk Selamat Datang dari Bawah, karya kolaboratif itu hasil proses kreatif Fitri yang melibatkan para seniman dari beragam latar disiplin: rupa, teater, dan sastra.

Gagasan temanya sendiri berangkat dari imaji Fitri tentang berjalan atau bergerak ke bawah. Ia ingin mengeksplorasi gerak yang menunjukkan bagaimana tubuh manusia merespons gravitasi dan menyikapi dataran. Tak hanya menjelajahi eksperimentasi ruang, Fitri juga mencoba menyuguhkan pengalaman menonton yang lain. Para penonton diajak menyaksikan tiga pertunjukan yang berbeda selama tiga hari berturut-turut. Ketiga pertunjukan itu adalah: Lubang Cahaya Bernapas (Pesan Dari Franz Schubert), Dataran yang Terus ke Dasar (Pesan dari Zen), dan Penyusup dalam Tubuh (Pesan dari Udara).

Repertoar Pertama: Lubang Cahaya Bernapas

Dalam repertoar pertama, Fitri menggunakan benang dan batu sebagai obyek utama. Fitri terinspirasi Franz Schubert, komponis yang jari-jarinya cacat, yang menggunakan benang dan batu sebagai pemberat bagi jarinya saat berlatih piano sehingga jemarinya menjadi kuat kembali.

Benang dalam berbagai warna cerah disusun teratur, membentuk garis-garis warna gradasi dengan batu yang menggantung di salah satu ujungnya. Ujung benang lainnya diikatkan pada jari-jari di sarung tangan dengan lampu kecil di setiap ujungnya. Sarung tangan itu dipakai para penari, sehingga jika mereka menggerakan jari-jarinya, benang dan batu akan bergerak seturut koreografi gerak jari tersebut, seperti seorang pianis yang asyik memencet tuts pianonya.

Sekitar setengah dari pertunjukan penonton disuguhi keindahan tiga penari perempuan – Yuni, Lawu, dan Marya – yang bermain dengan benang dan batu-batu itu. Hingga akhirnya muncul Jamal dan Qomar yang berpakaian seragam biru-perak membuat gerakan seperti senam yang aneh dan kaku dengan raut wajah dingin, seperti ingin menyela keindahan benang serupa garis pelangi dan batu yang tengah bergerak naik turun di tangan para penari.

Jamal-Qomar terus melakukan gerakan aneh. Lalu, mereka keluar dari panggung dan bergerak ke kursi penonton membawa handphone yang memutarkan suara pidato yang terdengar sayup-sayup. Setelah itu mereka kembali ke panggung dan mengambil segulung benang, satu ujungnya diambil dan kemudian dimasukan ke dalam lubang telinga mereka. Kini mereka seolah terhubungkan oleh benang putih itu. Salah satu dari lelaki itu berjalan menjauhi temannya dan benang pun terentang.

Sebagai penutup pertunjukan, para penari yang terus bergerak memainkan jari tangannya, perlahan mulai bergerak melepaskan sarung tangan tersebut sehingga benang dan batu pun berjatuhan.

Repertoar Kedua: Dataran yang Terus ke Dasar

Dalam repertoar kedua, Fitri menyuguhkan “sensasi peristiwa menonton” yang cukup emosional dan menyentuh. Adegan dibuka dengan enam orang penari yang bergerak dari dua sisi dinding, mereka berhadapan, berjalan mondar-mandir, nyaris bertabrakan sambil membawa tas besar. Salah satu sisi dinding tertutup balok-balok es hampir penuh.

Dengan kostum menyerupai pakaian kerja, mereka melakukan gerakan cepat dan pandangan lurus ke depan. Adegan ini seperti merujuk pada para pekerja kantor yang baru pulang, berlalu-lalang dengan seluruh kelelahannya. Di tengah adegan, dua penari, Qomar dan Rendra, berpelukan, sehingga memberi jeda dari ritme gerak yang cenderung cepat.

Sesaat kemudian, tas besar itu dibuka. Para penari mengeluarkan sebongkah es besar. Mereka kemudian bergerak sambil membawa balok es itu, terkadang dicium, digendong, direngkuh, dipeluk, atau ditidurkan. Mereka memperlakukan balok es itu seperti anak kecil atau sahabat dengan sangat intim.

Gagasan tentang balok es didapat Fitri ketika ia membaca buku tentang zen. “Di situ ada gagasan tentang sesuatu yang dingin. Sesuatu yang terus mencair,” katanya. “Ketika membaca buku itu, saya seperti ingin membuat visualisasi adegan yang merujuk pada situasi macam itu.”

Di tengah adegan itu, dua penari lainnya – Jamaluddin Latief dan Yuni Wahyuni – berpelukan, sehingga membetot emosi para penonton. Mereka merasa terharu dan merasakan sebuah kehangatan dari keintiman Jamal-Yuni.

Adegan berikutnya, para penari membuka baju. Tampak lapisan plastik bubble yang melindungi kulit para penari dari persentuhan langsung dengan es. Lalu, dari pinggir panggung, para kru memasukkan lagi balok-balok es ke tengah ruang pertunjukan. Para penari kemudian seperti bekerja memenuhi lantai dengan balok es, beberapa di antara mereka memecah balok es di dinding.

Banyak yang beranggapan repertoar kedua ini merupakan karya yang paling kuat, baik secara ide maupun tema gerak.

Reportoar Ketiga: Penyusup dalam Tubuh

Ketika masuk ke dalam ruang pertunjukan, penonton langsung disuguhi dengan karya instalasi perupa Titarubi, kolaborator dalam pertunjukan ini, Bodyscape. Karya ini berupa instalasi 9 tubuh terbuat dari resin berbalut brokat yang di dalamnya diberi lampu. Di sisi kanan-kiri dinding, para penari bergerak pelahan dalam balutan kain warna-warni: biru, kuning, merah, hijau. Setelah kurang lebih 10 menit, tubuh-tubuh patung ini terangkat ke atas.

Para penari kemudian memasuki panggung dan membuat gerakan-gerakan abstrak. Karena kostum penari menyerupai mantel, maka ketika mereka bergerak, kita tidak mengenali tubuh mereka sebagai manusia. Gestur mereka lebih membentuk obyek-obyek visual yang abstrak. Pilihan Fitri untuk menghadirkan gestur-gestur yang semacam ini menjadi menarik karena menunjukkan kontradiksi dengan imaji tubuh yang dihadirkan oleh karya Titarubi yang cenderung kokoh dan definitif.

Dua penari perempuan, Yuni dan Marya Yulita Sari, bergerak melintasi tubuh abstrak ini dengan cara duduk bersimpuh, sambil mengeluarkan suara-suara yang hampir seperti berbisik.Setelah beberapa waktu berjalan, perlahan tubuh-tubuh karya Titarubi turun kembali memasuki panggung.

Lalu, dari luar panggung, para kru melemparkan kentang-kentang dalam jumlah yang sangat banyak, hampir memenuhi lantai. Para penari keluar dari dalam mantel dengan pakaian hitam-hitam, kemudian tidur berjajar di bawah tubuh-tubuh karya Tita Rubi berbaur dengan kentang-kentanng, seperti membentuk satu sabana tubuh.


*****


Selama beberapa tahun terakhir, Fitri memunculkan banyak pertanyaan berkaitan dengan olah tubuh melalui karya-karyanya. Afrizal Malna, dramaturg yang membantu Fitri dalam penyusunan adegan dan memberi penguatan konteks, menyatakan Fitri ingin menampilkan satu pendekatan baru terhadap relasi antara tubuh dan tari dalam ranah seni pertunjukan di Indonesia. Upaya Fitri ini terasa sebagai pendekatan yang segar, karena menabrak-nabrak konvensi yang kadung dianut oleh sebagian besar penari dan koreografer di tanah air.

Yang jelas, pertunjukan Fitri kemudian menegaskan bagaimana seni pertunjukan sekarang ini makin dimaknai sebagai upaya membangun peristiwa bersama, yang menyuguhkan sensasi tertentu, antara pencipta dan penonton. Makna-makna tidak dibagi atau dikomunikasikan agar membentuk satu persepsi bersama, tetapi lebih dibiarkan ada dalam ruang personal masing-masing orang.

No comments:

Post a Comment